INFONASIONAL.com | Hukum - Beberapa waktu terakhir, Indonesia gempar dengan marak terungkapnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dinilai semakin sadis. Akhir 2023 lalu, rakyat Indonesia dibuat miris kasus pembunuhan empat anak di Jagakarsa, Jakarta, yang dilakukan oleh ayah kandungnya. Saat itu, ibu dari keempat anak tersebut justru sedang dirawat di rumah sakit akibat KDRT yang dilakukan oleh suami/ayah dari keempat anak tersebut. Sebelumnya terungkap pula seorang dokter yang kabur dari suaminya lantaran bertahun-tahun menjadi korban KDRT, meski sudah menjadi tulang punggung keluarga. Kini awal 2024, kita kembali digemparkan dengan kasus mutilasi seorang istri yang dilakukan oleh suaminya di Malang, Jawa Timur. Kasus ini juga berawal dari KDRT yang sering dilakukan kepada korban.

Beredar pula video KDRT yang dilakukan oleh seorang ASN BNN terhadap istrinya di depan ketiga anaknya yang masih kecil. Betapa mengerikannya apabila orang terdekat yang seharusnya menjadi tempat ternyaman serta memperoleh perlindungan, tetapi justru menjadi ancaman yang menyerang keselamatan jiwa dan raga. Berdasarkan catatan Polri, Januari hingga Juli 2023 ada 2.261 kasus KDRT yang dilaporkan. Sedangkan pada 2022 total 5.526 kasus, tahun 2021 dan 2020 masing-masing sebanyak 7.435 kasus dan 8.104 kasus.

Meski begitu, jumlah ini hanyalah angka yang dilaporkan dan terungkap. Dipastikan angka sebenarnya masih jauh di atas data statistik tersebut, mengingat masih banyak korban KDRT yang enggan melaporkan karena berbagai faktor dan pertimbangan. Meski KDRT bisa dilakukan dan terjadi pada siapa saja, namun data menunjukan sebagian besar korban adalah perempuan dan anak.

Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT) menyebutkan bahwa KDRT merupakan segala perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga yang dimaksud dalam UUP KDRT meliputi:

(a) suami, istri, dan anak;

(b) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

(c) orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Bentuk-bentuk KDRT antara lain berupa kekerasan fisik (mengakibatkan luka hingga kematian), kekerasan psikis (menimbulkan rasa takut, tidak berdaya, depresi dll), kekerasan seksual (seperti pemaksaan hubungan seksual), dan penelantaran rumah tangga (tidak memberi nafkah). KDRT dan siklus berulang Salah satu aspek yang membuat KDRT menjadi begitu kompleks dan sulit dihentikan adalah siklus yang berulang. Pelaku KDRT secara psikologis cenderung manipulatif. Setelah melakukan KDRT, pelaku biasanya akan meminta maaf dan menunjukkan penyesalan mendalam.

Selanjutnya akan melakukan love bombing seperti rayuan, pujian, dan tindakan yang menunjukkan merasa butuh pada pasangannya sehingga meluluhkan hati korban KDRT, begitu seterusnya hingga KDRT terulang. Meski begitu, ada pula faktor lain yang membuat korban KDRT bertahan dalam hubungan tersebut, yaitu keberadaan anak atau ketergantungan secara ekonomi/relasi kuasa. Sesungguhnya pemerintah telah menaruh perhatian lebih terhadap kasus KDRT. Hal ini nampak dari adanya UU PKDRT sejak hampir 20 tahun lalu. Larangan dan ancaman pidana terhadap pelaku KDRT tercantum dalam Pasal 44 UU PKDRT dengan ancaman hukuman yang beragam tergantung pada jenis tindakan dan akibat yang ditimbulkan. Adapun pasal-pasal tersebut berbunyi:

Pasal 44 Ayat (1) UU PKDRT: “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).”

Pasal 44 Ayat (2) UU PKDRT:

“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).”

Pasal 44 Ayat (3) UU PKDRT:

“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).”

Pasal 44 Ayat (4) UU PKDRT:

“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).”

Korban KDRT Dihadapkan dengan kompleksnya kasus KDRT, korban seringkali enggan melaporkan dan memutuskan tetap bertahan dalam hubungan toxic tersebut. Menjadi korban KDRT bukanlah aib yang harus ditutupi. Hal ini perlu kesadaran yang mendalam, baik dari sisi korban maupun lingkungan sekitar demi keamanan korban secara fisik dan mental. Terus menerus berada dalam situasi yang mencekam juga tidak baik bagi fisik dan mental, apalagi bagi tumbuh kembang anak. Lingkungan sekitar juga diharapkan mampu memberikan perhatian terhadap apa yang terjadi di sekitar sehingga dapat mengambil langkah preventif.

Apabila menjadi korban KDRT, maka sebaiknya korban mau dan berani untuk melapor dengan melampirkan bukti-bukti baik foto, video maupun hasil pemeriksaan atas akibat yang ditimbulkan dari KDRT tersebut guna menjadi bukti pendukung saat melaporkan kepada pihak-pihak terkait. Adapun korban KDRT dapat melapor kepada Kepolisian, Kementerian PPA, Komnas Perempuan, maupun Lembaga Bantuan Hukum yang tersedia di domisili korban.