INFONASIONAL.COM | Internasional - Jika bicara soal perkembangan visual efek di dalam sinema, maka ada satu hal yang diyakini menjadi pembeda sekaligus sebuah penanda era terbaru sebelum digitalisasi yang berhasil mengangkat Disney menjadi studio sebesar sekarang.
Tak salah jika sihir disematkan pada teknologi bernama prisma tersebut, mengingat tak banyak orang yang tahu cara kerjanya kala itu.

Pada saat itu banyak orang yang memakai practikal atau pun penggunaan blue screen setelah ditemukan oleh Lawrence Butler, Namun Disney memiliki cara berbeda dengan yellowscreennya atau proses sodium vapor yang dipergunakan pada era 1950-an dengan membuat kamera khusus. Mereka memilih memodifikasi sebuah kamera Technicolor yang memakai dua film dengan aspek ratio 1.85: 1.

Kisah ini bermula ketika Disney mendapatkan hak cipta untuk membuat live action dari Mary Poppins. Tak ingin membuat film ini hanya menjadi sekadar film lazimnya di era tersebut, mereka mencoba menghadirkan teknologi baru. Mereka pun tak mau lagi membuat gabungan footage dari animasi gambar tangan seperti sebelumnya dan memilih untuk bekerja sama dengan insinyur Petro Vlahos.

Petro yang kala itu tengah meneliti soal penggunaan blue screen menyadari jika ada potensi untuk memakai warna lainnya yakni kuning atau yellow yang dihasilkan dari gas sodium. Ia menemukan jika gas sodium menghasilkan panjang gelombang 589 nanometers di mana blue screen biasanya hanya berkisar antara 435 hingga 500 nanometer.

Dengan mempersempit panjang gelombang tersebut ia pun membuat para sineas jadi lebih bebas berkarya untuk memilih properti atau pun kostum yang digunakan para aktor. Mereka tak perlu lagi menghindari elemen warna biru atau pun hijau yang dihadirkan dalam kamera saat memakai efek tersebut.

Sebagai gambaran, pada film Mary Poppins aktor Dick Van Dyke bisa memakai dasi dan kaus kaki biru dalam sebuah adegan tanpa khawatir jika properti itu menjadi transparan di kamera. Bahkan pemakaian warna kuning pun masih aman untuk dilakukan karena mereka hanya mengeleminasi warna kuning yang spesifik.

Untuk menghadirkan efek ini, si aktor pun harus berada di depan layar putih yang disinari cahaya kuning dari lampu uap natrium, sebagaimana nama prosesnya yakni sodium vapor. Tak seperti teknik blue screen yang membutuhkan film khusus agar bisa mendapatkan efek itu, metode ini justru bisa dilakukan dengan apa saja karena modifikasi dilakukan pada kameranya.

Modifikasi kamera inilah yang kemudian dikenal dengan nama prisma, atau sebuah prisma unik yang didesain untuk menangkap hanya 589 nanometer dari panjang gelombang warna saja. Sebuah teknologi yang membuat banyak orang tercengang, bahkan hingga saat ini.

Mereka tetap membuat gambar terlihat tajam dengan kedalaman yang luas yang banyak dikeluhkan pada penggunaan blue screen yang bahkan menyebabkan efek halo. Untuk contohnya betapa mengagumkannya teknologi itu terlihat pada tudung yang digunakan oleh Julie Andrews dalam Mary Poppins yang meski menerawang tapi tak membuat background yang ditempel terlihat aneh.

Teknologi ini pula yang membuat Disney mendapatkan piala Oscar dalam kategori Best Visual Effect, Best Actress, Best Film Editing, Best Original Music Score dan Best Original Song pada 1965.

Sayangnya hanya ada satu kamera dengan prisma saja yang berhasil dibuat dan bertahan sampai saat ini. Dan belum ada yang membuat replika atau memperbanyak kamera tersebut meskipun sudah digunakan selama lebih dari 40 tahun untuk beberapa film seperti The Birds dari Alfred Hitchcock, Pete's Dragon karya Don Chaffey dan Don Bluth hingga The Black Hole karya Gary Nelson.

Teknologi prisma juga lah yang membuat para studio lainnya berlomba-lomba untuk menghadirkan film-film dengan visual efek yang ciamik dan membuat ide-ide gila dari film fiksi ilmiah bisa diwujudkan dan menjadi tontonan yang memanjakan mata.