INFONASIONAL.com| Opini - Banyaknya pernyataan akhir-akhir ini mengenai politik dinasti sebenarnya menjauhkan dari isu politik sebenarnya, yaitu cita-cita reformasi. Saat ini, yang terjadi di Indonesia adalah praktik kolusi dan nepotisme yang berlangsung gamblang di depan mata.

Salah satu cita-cita Reformasi 1998 adalah menghapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan sepertinya pejabat Indonesia hanya memfokuskan kepada pemberantasan korupsi—yang masih saja tetap marak terjadi—tetapi lupa bahwa kolusi dan nepotisme juga harus mendapat perhatian.

Menjelang pencalonan presiden dan wakil presiden, baru-baru ini kita disajikan drama dari keluarga Presiden Joko Widodo. Anak bungsunya dapat menjadi ketua partai politik setelah dua hari mendaftar menjadi anggota partai tersebut. Kemudian, Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan ”karpet merah” bagi anak sulung presiden untuk dapat menjadi cawapres dengan mengubah undang-undang yang mengatur usia kandidat yang sebelumnya harus berusia minimal 40 tahun. Tentu saja aspek salah satu hakim di MK yang masih kerabat presiden menjadikan lembaga negara tersebut tidak imparsial. Tidak heran, akhirnya anak sulung presiden tersebut menjadi bakal cawapres salah satu partai politik.

Tentu saja latar belakang parpol calon-calon tersebut juga dipertanyakan. Bagaimana mungkin parpol mampu mengusul kandidat capres, tetapi memiliki kader yang menjadi cawapres dari parpol lain? Akankan hal ini memecah suara pemilih? Lantas apa yang terjadi dengan sistem kaderisasi parpol? dan bagaimana dengan maraknya perbincangan mengenai politik dinasti?

Masyarakat Indonesia, terutama generasi muda, disuguhi praktik politik kolusi dan nepotisme begini dengan gamblang. Bahwa masuk dalam bidang politik dapat dilakukan secara instan asal ada (keluarga) pejabat (nasional) yang mendukung. Bahwa menjadi anggota parpol juga mudah asal dari keluarga tertentu walau tidak punya kapasitas. Bahwa kaderisasi di parpol atau memiliki jabatan di parpol atau pemerintahan itu gampang diatur, lagi-lagi asal didukung oleh (atau dekat dengan) pejabat parpol setempat. Apalagi kalau memiliki modal besar atau dana. Bahkan undang-undang pun dapat diganti dan diinterpretasikan untuk melanggengkan jalan menuju kekuasaan politik, apabila ada pejabat keluarga.

Semua hal tersebut memungkinkan, tetapi jelas menunjukkan praktik kolusi dan nepotisme yang marak. Kegiatan tersebut sayangnya tidak hanya didukung oleh sekelompok orang tertentu, tetapi bahkan didukung beberapa parpol, bahkan lembaga negara, setidaknya lembaga eksekutif dan yudikatif.

Akankah kita masyarakat umum hanya diam saja? Adalah benar, kita dapat memilih calon-calon kandidat tersebut di pemilu nanti. Namun, kandidat yang didapatkan dari praktik kolusi dan nepotisme, yang bukan dari kader partai sendiri, bukan dari prestasi kerja, yang dipilih karena popularitas nama keluarga, rasanya tidak cocok di zaman demokrasi dan globalisasi terbuka saat ini.

Apalagi suara kita hanya berarti dan dihargai setiap lima tahun sekali, itu waktu yang lama untuk mendiamkan praktik kolusi dan nepotisme yang terjadi. Apalagi itu adalah cita-cita reformasi yang ternyata tidak ada perubahan setelah 25 tahun berjalan.

Apa itu politik dinasti?

Politik dinasti lebih dikenal di Amerika Serikat di mana dalam satu keluarga ada banyak yang memiliki jabatan politik bahkan melintasi beberapa generasi. Nama-nama seperti keluarga Kennedy, Huntington, Roosevelt, bahkan Bush sudah dikenal kiprah politiknya baik di tingkat daerah maupun nasional, dari saudara kandung, ipar, sampai sepupu. Di Filipina (atau negara yang dekat dengan AS) juga begitu, ada keluarga Marcos, Aquino, Binay, Macapagal, bahkan Duterte yang dikenal politik dinastinya.

Di Indonesia, politik dinasti sebenarnya ada di Banten, di mana adik, ibu, suami, anak, dan menantu menempati banyak posisi di pemerintahan daerah. Keluarga ini pun rentan praktik korupsi dan tampaknya praktik korupsi ini yang ditakutkan terjadi apabila ada politik dinasti. Namun yang jelas, walaupun korupsi berbahaya, praktik kolusi dan nepotisme kentara sekali terjadi dan kita tidak boleh diam saja.

Di tingkat nasional, keluarga Soekarno dan Soeharto masih mendapat perhatian masyarakat Indonesia, tetapi tampaknya belum membentuk politik dinasti seperti di Banten. Kalau dalam satu keluarga: bapak, anak, menantu memiliki jabatan politik, memang belum membentuk suatu dinasti (walau dapat mengarah ke sana apabila diteruskan), tetapi jelas mempraktikkan kolusi dan nepotisme.

Di tingkat nasional, keluarga Soekarno dan Soeharto masih mendapat perhatian masyarakat Indonesia, tetapi tampaknya belum membentuk politik dinasti seperti di Banten.

Kaderisasi parpol

Kaderisasi tidak terlihat berjalan dalam parpol. Idealnya seseorang yang tertarik terjun di politik, akan masuk ke suatu parpol yang dipilihnya, memahami ideologis partai dan bagaimana menerapkan nilai-nilai partai dalam kehidupan sehari-hari untuk beberapa waktu. Di sinilah peran parpol diperlukan untuk memberikan pelatihan politik dan hubungan konstituen dengan para anggotanya walaupun mereka tidak memiliki jabatan publik. Setelah beberapa lama, barulah sang kader masuk dalam pemilihan umum, lagi-lagi idealnya di tingkat kabupaten/kota, naik ke provinsi, barulah ke tingkat nasional. Idealnya lagi, untuk menjadi anggota suatu parpol, seseorang harus membayar iuran anggota parpol untuk mendapat kartu tanda anggota.

Namun, di Indonesia tidak begitu. Siapa yang punya modal finansial atau dikenal secara nasional, baik artis, maupun putra-putri ketua parpol, mantan presiden, pejabat publik, suami atau istri pejabat daerah, dan figur yang dikenal secara nasional, akan mulai ”kasak-kusuk” menjelang pemilu: baik menjadi anggota parpol tertentu maupun mendekat kepada figur-figur penting dalam pemegang keputusan calon legislatif atau kepala daerah.

Visi-misi dan program partai tidak terlihat perbedaannya antara satu parpol dan yang lain. Paling hanya janji-janji yang disampaikan. Tidak heran, seseorang dengan instan dapat menjadi pejabat publik dan memiliki posisi walaupun baru saja bergabung dengan suatu parpol. Sudah banyak contohnya, apalagi dari kalangan artis dan selebritas nasional.

Jadi, pengajuan calon kandidat politik baik posisi capres/cawapres dan calon legislatif baik di tingkat nasional maupun daerah masih memakai sistem pemilihan idola atau pentas ”kecantikan”. Bahkan, ketua parpol yang tidak cukup populer tahu diri untuk tidak mencalonkan diri menjadi capres. Inilah yang disebutkan oleh Max Weber (1864-1920) bahwa parpol menjadi seperti pemburu posisi (position hunters) yang lebih mengandalkan suara untuk mendapatkan posisi-posisi atau pejabat pemerintahan dan keuntungan finansial daripada menjadi penyambung aspirasi rakyat.

Inilah anomali politik di Tanah Air bahwa selain parpol amat bernafsu memburu kekuasaan semata, dengan mengajukan capres berdasarkan model pemilihan idola dan bukan dari program-program kerja partai yang inovatif—seperti mencapai netralitas karbon, penanganan pajak, arah pendidikan—parpol juga menampakkan bahwa tidak adanya kaderisasi parpol yang efektif dan sakralnya posisi ketua parpol yang tidak membangun regenerasi. Tidak ada upaya untuk mencetak pemimpin-pemimpin muda yang didapat dari prestasi dan tidak dari Jakarta atau Pulau Jawa semata.

Apabila praktik kolusi dan nepotisme terus berjalan dan proses kaderisasi parpol mandek, ini akan menghambat upaya Indonesia untuk maju.

Cita-cita reformasi

Banyak pihak menginginkan masyarakat Indonesia tidak terbelah lagi. Di zaman teknologi dan politik visualisasi, kita tidak ingin demokrasi Indonesia menjadi ”mediakrasi”, yaitu suatu ungkapan yang menggambarkan pembentukan politik oleh politisi dan pemerintahan yang ”memanipulasi” suara pemilih dengan penampilan dan penampakan media (sosial) belaka (John Keane, 2013). Apalagi calon presiden yang populer di sini adalah sering munculnya akibat figur tersebut sangat aktif dalam media sosial, panggung-panggung nasional, dan survei politik, bukan dari karya atau kerja nyata yang berdampak bagi rakyat banyak.

Di sinilah transparansi politik diperlukan walau terjadi ambiguitas bahwa masyarakat yang melaporkan pemerintah dapat dikenakan sanksi juga. Maka, peran media dan DPR, sebagai anggota parlemen perwakilan rakyat, amat penting di sini. Karena demokrasi akan bekerja baik dalam proses yang tidak terburu-buru. Anggota DPR perlu untuk bermusyawarah bersama secara terbuka—tentu dengan anggota-anggota yang benar-benar tahu kondisi daerah pemilihannya—dan media yang netral dan cerdas untuk melaporkannya.

Max Weber pernah menyatakan bahwa ”politik merupakan suatu pekerjaan (politics as a vocation), maka aktivitas politik haruslah bermakna bagi masyarakat banyak, Namun yang lebih penting, kandidat-kandidat yang dipilih bukanlah didapatkan dari praktik kolusi dan nepotisme. Ini cita-cita reformasi yang belum kita wujudkan.

Bukan sekadar meributkan politik dinasti dan rakyat hanya bertugas memilih nanti di saat pemilu (dan hanya lima tahun sekali itu), melainkan praktik (korupsi) kolusi dan nepotisme yang sudah mencederai cita-cita reformasi Indonesia harus diberantas. Apabila praktik kolusi dan nepotisme terus berjalan dan proses kaderisasi parpol mandek, ini akan menghambat upaya Indonesia untuk maju dan membuka ruang untuk orang-orang di pemerintahan yang mumpuni dan ahli.

Ratih D Adiputri, Dosen Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Jyväskylä, Finlandia