INFONASIONAL.com | Pemerintahan - Mahkamah Konstitusi memerintahkan para pembuat undang-undang mengoreksi aturan ambang batas parlemen. Jika aturan ini dihapus atau angkanya diturunkan, semangat penyederhanaan partai akan jadi angan-angan. Di tengah isu penggelembungan suara salah satu partai politik peserta Pemilu 2024, Mahkamah Konstitusi atau MK membuat putusan yang menuai perdebatan. MK menyatakan, ketentuan ambang batas parlemen atau “parliamentary threshold” 4 persen suara sah nasional yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) tak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi. Untuk itu, MK memerintahkan agar regulasi mengenai syarat masuk Senayan ini dikoreksi.

Meski demikian, MK menyatakan aturan baru mengenai ambang batas parlemen ini tidak diterapkan pada Pemilu tahun ini, namun baru berlaku pada Pemilu 2029. Artinya, bagi partai politik yang tak memenuhi ambang batas parlemen 4 persen pada Pemilu 2024, tetap tak bisa melenggang ke Senayan. MK menegaskan, putusan ini tidak menghapus ambang batas parlemen, melainkan meminta agar regulasi ini diatur kembali. Namun, threshold dan besaran angka persentasenya diserahkan ke pembentuk undang-undang guna menentukan angka yang rasional dan masuk akal.

Menuai pro kontra

Putusan ini ditanggapi beragam oleh berbagai kalangan. Partai politik kecil dan menengah menyambut gembira putusan MK dan meminta agar angka ambang batas masuk Senayan diturunkan. Tak hanya partai partai baru, partai lama seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga mendesak ambang batas parlemen diturunkan dari 4 persen menjadi 2,5 persen.

Sementara Partai Gelora justru meminta agar ambang batas parlemen dihapuskan. Alasannya, aturan ini memunculkan jarak antara rakyat dengan calon wakil atau pemimpinnya. Ambang batas dinilai mendistorsi hak-hak rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung karena keberadaannya membuat rakyat dibatasi. Karena itu, partai pimpinan Anis Matta ini meminta tak hanya parlemen, ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden juga harus dihapus. Namun, suara berbeda disampaikan partai partai menengah dan partai besar. Mereka justru ingin menaikkan ambang batas masuk parlemen. Sejumlah partai seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai NasDem, Partai Golkar dan PDI Perjuangan bahkan mengusulkan ambang batas parlemen tak lagi 4 persen, namun naik menjadi 5-7 persen. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga masuk barisan yang setuju dengan adanya ambang batas masuk parlemen ini.

Penyederhanaan partai politik

Sejumlah partai politik dan kalangan yang setuju agar tetap ada ambang batas parlemen menyebut, ambang batas parlemen rasional dan masuk akal dibutuhkan guna menyokong sistem presidensial. Pasalnya, jika ambang batas parlemen dihapuskan atau angkanya terlalu kecil, akan banyak partai politik yang masuk Senayan dan berpotensi “merepotkan” sistem pemerintahan. Sistem presidensial dinilai akan kuat dan mampu berjalan efektif jika ditopang dengan sistem parlemen multipartai yang sederhana, tidak teralu banyak parpol. Alasannya, makin sederhana sistem multipartai di Indonesia, maka akan makin efektif penyelenggaraan pemerintahannya. Penyederhanaan parpol juga dilakukan agar partisipasi dan pilihan rakyat tak tersebar dan berserak. Ambang batas parlemen juga diniatkan sebagai upaya memaksimalkan kinerja partai politik di masyarakat.

Pasalnya, jika ambang batas parlemen terlalu rendah, kualitas partai menjadi taruhan. Sebab, tak hanya partai berkualitas tinggi, partai yang dikelola ala kadarnya juga bisa lolos ke Senayan. Dan ini bisa berdampak pada kinerja parlemen di Senayan. Ambang batas parlemen bisa jadi adalah mekanisme seleksi dalam kontestasi di sistem demokrasi. Karena itu, bisa jadi aturan ini masih layak untuk tetap digunakan. Namun yang harus diperhatikan adalah besaran ambang batas ini harus diputuskan dengan kajian mendalam agar keputusan yang dihasilkan tak hanya rasional dan masuk akal, namun juga tak mengangkangi demokrasi. Namun di luar itu semua, siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan putusan MK ini? Dan akankah penyederhanaan partai politik bisa terealisasi? Ikuti dan simak pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (6/3/2024), live di Kompas TV mulai pukul 20.30 WIB.